Agama Islam memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci soal pemikahan. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan yang ideal, melakukan khitbah (peminangan), bagaimana mendidik anak, serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga.
Itulah proses membangun keluarga sejati yang akan mengantarkan “bangunan” rumah tangga tersebut menjadi kokoh. Selanjutnya bangunan tersebut tidak akan roboh karena di dalamnya terdapat zikir cinta yang setiap hari mengalir ke dalam jiwa-jiwa penghuninya.
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah- lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 28)
Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa hanya dengan mengingat Allah Swt., setiap orang akan menemukan kebahagiaan. Setiap kalimat zikir yang keluar dari bibir akan semakin memperkokoh keimanan dan ketakwaannya, serta memperkuat hubungan keluarga dalam mengarungi bahtera hidup ini.
Saling mengerti dan menepati janji
Mewujudkan rumah tangga yang bahagia tidaklah mudah. Perlu diketahui, rumah tangga yang sakinah dan mawaddah haruslah didasari dengan saling pengertian dan tidak saling mengingkari janji.
Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap permasalahan rumah tangga dengan menjelaskan asas pem- bentuknya dan sebab yang dapat melanggengkan ikatan rumah tangga tersebut. Tujuannya, agar rumah tangga itu menjadi kuat dan tidak tergoyahkan sehingga diliputi dengan rahmat dan kebahagiaan dari Allah Swt.
Janji pertama seorang suami kepada istrinya adalah ketika terjadinya akad pernikahan. Keduanya berjanji untuk saling setia berlabuh dalam bahtera keluarga. Janji itu digenggamnya erat-erat supaya tidak lepas. Namun anehnya, sebagian pasangan ada yang sengaja melepaskan janji-janjinya demi sebuah kesenangan sesaat.
Padahal, menepati janji hukumnya adalah wajib. Wajib bagi seorang suami untuk memberikan kenyamanan dan kebahagiaan kepada istrinya. Wajib pula bagi seorang istri untuk menjalankan.
Amanah sebagai pasangan suami dalam menjaga kehormatannya dan mendidik anak-anak mereka.
Dan masih banyak lagi janji-janji dalam hidup ini yang harus ditepati oleh suami maupun istri. Orang yang tidak menepati janji akan tergolong sebagai orang munafik, sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
“Tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu bila berbicara dia berbohong apabila berjanji dia mengingkari, dan jika diberi amanat dia mengkhianati.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Bila kita renungkan, sungguh janji itu mempunyai kedudukan yang penting untuk menilai kualitas keimanan seorang muslim. Maka, apabila seorang suami berjanji kepada istrinya, hendaklah ia menepati. Hendaklah seorang istri menepati janji-janjinya kepada suami agar kelak ia menempati surga Allah.
Begitu besar kedudukan janji dalam syariat Islam dan kehidupan berkeluarga. Oleh sebab itu, berhati-hatilah apabila membuat janji. Anda harus mengingat janji itu dan menepatinya. Namun, apabila ragu dan tidak dapat menunaikan atau menepatinya, maka janganlah sekali-kali membuat sebuah janji walaupun kepada pasangan sendiri.
Menerapkan asas musyawarah dalam menyelesaikan setiap masalah
Pernikahan adalah amanat dari Allah Swt., maka jagalah amanat itu dengan kuat. Menjaga amanah Allah dalam bentuk pernikahan tidaklah mudah. Banyak sekali orang yang gagal mempertahankannya.
Pernikahan adalah sunnah Rasul yang harus diikuti dengan menanamkan rasa cinta dan kasih sayang untuk melaju di atas samudera kehidupan yang sangat luas, mengarungi ombak kehidupan menuju keridhaan ilahi.
Niat yang tulus ikhlas dalam berumah tangga adalah kunci utama untuk terus berlayar dalam lautan yang luas menuju pantai kebahagiaan yang telah disediakan bagi suami-istri yang saleh dan salehah, bagi suami-istri yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt.
Keimanan dan ketakwaan seseorang akan diuji dengan berbagai masalah. Dan derajat keimanan itu akan lebih tinggi manakala ia bisa menyelesaikannya dengan baik melalui media musyawarah.
Sama seperti manusia lain pada umumnya, suami-istri tentu memiliki berbagai macam kekurangan dan keterbatasan. Ketidaksempurnaan ini yang sedikit banyak turut berpengaruh dalam menentukan kebijakan dan keputusan. Alangkah bijaksana apabila dalam menentukan kebijakan dan keputusan, suami selalu mengedepankan musyawarah bersama istri dan juga dengan anggota keluarga lain bila diperlukan.
Allah Swt. Berfirman dalam Al-Qur’an:
“Dan ajaklah mereka bermusyawarah dalam (mengatasi) suatu urusan.” (QS. Ali Imran [3]: 159)
Dengan bermusyawarah, seorang suami akan memahami apa yang menjadi keinginan, harapan, dan keluh kesah istri sekaligus dapat memperoleh masukan, saran, pertimbangan, dan kritik yang bersifat membangun. Pada akhirnya, sebagai kepala keluarga, suami dapat dengan mudah mendidik dan mengarahkan istri dalam suatu amal kebaikan.
Itulah seorang kepala keluarga yang beruntung, yaitu ia yang memiliki keluarga yang beriman, giat beramal saleh, serta saling menasihati dalam kebenaran, dengan penuh kesabaran dan disertai rasa kasih sayang.